Skip to main content

Setelah Jam 12 Malam

Kalau kamu baca judul ini dan berharap cerita ini adalah cerita horror, maaf kamu harus kecewa. Ini bukan cerita horror. Sebelum aku menjelaskan tentang apa cerita ini, aku mau tanya dulu sama kamu. Menurut kamu, kapan waktu paling tenang dalam satu hari? Kalau buat aku, waktu paling tenang adalah ketika sudah lewat tengah malam. Setelah jam 12 malam adalah waktu ku dan diri ku sendiri, tidak perlu memikirkan orang lain. Aku di kamar ku, personal space ku, dan hanya ada aku. Gak akan ada yang tiba-tiba masuk ke kamar ku setelah jam 12 malam. Aku gak tau kalau nanti aku sudah menikah bagaimana. Maksud ku, suami ku akan selalu tidur di sebelah ku kan? Kalau sekarang, setelah jam 12 malam aku bisa memilih untuk mengabaikan chat atau telepon yang masuk, kecuali kalau aku tau itu sangat penting, tapi itu jarang. Setelah jam 12 malam aku bisa melakukan apa pun yang ku suka, tanpa takut diganggu oleh mama ku yang tiba-tiba manggil aku dari luar, atau papa ku yang berisik ngomelin anjing-anjing ku. Setelah jam 12 malam, sampai aku bangun tidur, adalah waktu ku dengan diri ku sendiri.


Cerita 1 – Cerita Aku

         Cerita pertama ini tentang aku sendiri, dan salah satu pikiran ku setelah jam 12 malam. Dari dulu aku punya satu kebiasaan, yaitu mandi sebelum tidur. Meskipun sebelumnya aku sudah mandi dua kali dalam satu hari, aku harus tetap mandi saat aku mau tidur. Semalam apa pun itu. Mama ku sampai marah-marah dan bilang kalau nanti aku bakal rematik. Aku percaya kalau rematik itu cuman mitos, dan semoga aku gak salah atau di hukum Tuhan kena rematik gara-gara sok tau. Mandi sebelum tidur itu enak banget tau, kamu jadi benar-benar bersih, wangi, dan tidur mu lebih nyenyak. Pokoknya setelah mandi malam, aku merasa badan ku sangat segar dan siap untuk tidur, tapi tidak dengan pikiran ku. Pikiran ku kadang masih selalu penuh dengan banyak hal. Hari ini, bahkan sesudah mandi dan merasa sangat wangi, aku masih memikirkan sesuatu yang cukup rumit. Hidup ku. Hidup memang rumit kan? Meskipun aku kenal satu orang, yang sepertinya hidupnya benar-benar mulus, seperti Tuhan selalu memberkati dia dan menjauhkan dia dari kesialan. Dia lulus kuliah, lalu langsung taaruf dengan kakak dari sahabat kecilnya, lalu hamil, dan sekarang sudah melahirkan anak perempuan. Aku gak bohong, hidupnya benar-benar jauh dari hal-hal yang buruk. Setiap hari aku melihat dia bersyukur di media sosialnya. Sedangkan aku? banyak mengeluh dan berusaha sabar dengan kondisi ku saat ini. Harusnya aku gak boleh gitu sih, tapi sesekali gak apa-apa kan?
         Kamu bisa hitung gak, kira-kira berapa kali kamu pernah dikecewakan selama kamu hidup? Aku, hampir 24 tahun hidup, mungkin sudah ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan kali. Perasaan kecewa muncul, karena sesuatu berjalan tidak sesuai dengan ekspektasi ku. Menurutmu ekspektasi itu gimana? Buat aku ekspektasi itu seperti alkohol. Dalam jumlah yang pas bisa membuatmu merasa “hidup”, tapi dalam jumlah yang berlebihan bisa membunuhmu. Segala sesuatu yang berlebihan memang gak baik katanya, dan aku setuju dengan itu. Tapi kadang aku gak sadar kalau ekspektasi ku berlebihan. Kadang ekspektasi itu melambung setinggi mungkin, dan aku biarkan. Aku lupa dengan tempat di mana aku berpijak, dan asik melambung dengan ekspektasi ku. Aku biasanya disadarkan dengan kenyataan yang menghantam keras aku dan ekspektasi ku, lalu menjatuhkan kami ke tempat awal kami berpijak, dengan keras, dan sakit. Untungnya sampai saat ini aku belum terbunuh karena ekspektasi ku yang suka terbang tinggi, dan realita yang suka menjatuhkan.
         Sejak SMA, aku selalu gak sabar untuk cepat dewasa. Aku selalu melihat orang yang sudah berusia 20 tahunan itu keren, independent. Aku selalu gak sabar untuk cepat dewasa dan hidup mandiri. Aku ingin cepat-cepat keluar dari rumah. Aku ingat waktu aku kecil, rumah adalah tempat yang menyenangkan. Semuanya berubah ketika aku mulai memasuki usia remaja, dan hubungan ku dengan kedua orang tua ku mulai rusak. Kalau kamu lihat dari luar, semuanya memang kelihatan baik-baik saja. Aku tinggal di rumah dengan kedua orang tua ku, kakak, dan adik ku. Setiap hari minggu kami pergi ke gereja, lalu makan enak bersama. Kamu pikir tidak ada yang salah dengan aku dan keluarga ku. Tapi sebenarnya, kalau kamu masuk dan hidup bersama aku dan keluarga ku, kamu akan merasakan kalau keluarga ini bukanlah portrait keluarga ideal yang diidam-idamkan oleh semua orang. Aku tidak akan menjelaskan secara rinci bagaimana hubungan ku dengan keluarga ku, tapi aku pernah menghitung waktu ku berbincang-bincang dengan orang tua ku selama satu tahun. Berbincang-bincang karena kami ingin mengetahui satu sama lain ya. Benar-benar komunikasi dua arah tanpa pertengkaran. Aku yakin kalau dijumlahkan, tidak sampai satu jam. Padahal dalam satu tahun ada 8.766 jam, dan 8.766 itu jumlah yang banyak kan? Tapi tidak satu pun ku habiskan dengan orang tua ku, keluarga ku.
         Hubungan ku dengan keluarga ku ini yang selalu bikin aku ingin cepat-cepat jadi orang dewasa dan keluar dari rumah. Dulu aku selalu melihat orang-orang yang sudah berumur 20 tahun ke atas itu mandiri, sudah bekerja, tidak tinggal dengan orang tua lagi. Ah, aku ingat saat SMA itu aku benar-benar tidak sabar untuk cepat-cepat kuliah dan lulus, lalu bekerja, dan keluar dari rumah. Sayangnya hal itu tidak pernah terjadi. Kembali lagi ke aku saat ini, yang sudah hampir berusia 24 tahun, dan saat ini sedang duduk di jendala kamar di rumah ku sambil menatap ke malam yang gelap. Aku masih tinggal di rumah ku. Benar-benar tidak sesuai dengan apa yang aku impikan sejak aku masih SMA.
         Untungnya kali ini, bukan ekspetasi yang membunuh ku, tapi aku yang membunuh ekspetasi ku pelan-pelan. Mungkin sejak beberapa tahun yang lalu aku sadar kalau aku akan terus tinggal di rumah, dengan keluarga ku. Waktu aku kuliah, aku pernah minta orang tua ku untuk diizinkan tinggal di kost, tapi tentu saja mereka bilang tidak. Aku sedikit menyesal, kenapa dulu aku gak pilih tempat kuliah yang jauh ya? Kenapa masih di jarak yang bisa aku tempuh dari rumah? Ah, aku bodoh sekali. Jadi sejak aku tau kalau orang tua ku gak akan izinin aku tinggal sendiri di kost, aku tau kalau keluar dari rumah tidak semudah itu. Aku pikir kalau aku lulus kuliah dan kerja di luar kota, aku bisa mewujudkan mimpi ku. Tapi, aku sudah tinggal di daerah ibu kota. Justru orang-orang biasanya akan ke ibu kota kan untuk bekerja? Jadi ya sudah, pelan-pelan ekspetasi ku saat SMA turun, tanpa harus menunggu ditabrak oleh kenyataan.
         Tapi kalau dipikir-pikir, memang apa yang bisa bikin aku jadi orang dewasa keren yang tinggal sendiri dan hidup mandiri? Aku lihat orang-orang dewasa yang seperti itu memiliki pekerjaan yang bagus. Bagus maksudnya, punya jenjang karir yang bagus dan gaji yang bagus. Aku? tentu saja belum. Karir ku belakangan ini, setelah aku lulus kuliah, mulai gak jelas. Sebelum aku lulus, aku punya cita-cita magang di perusahaan-perusahaan ternama, dan itu terwujud. Selama masa-masa akhir ku kuliah, aku beberapa kali diterima magang oleh perusahaan-perusahaan ternama, yang kalau aku sebutkan namanya kamu pasti tau. Sampai ada teman ku yang lebih pintar secara akademis dari aku, iri sama aku. Tapi setelah aku lulus, aku jadi yakin kalau bekerja di perusahaan bukan sesuatu yang aku benar-benar mau. Kamu tau kan bagaimana orang yang bekerja di perusahaan? Berangkat pagi, pulang malam, rutinitas yang itu-itu saja, rekan kerja yang mungkin menusukmu dari belakang. Aku kayaknya bisa gila. Saat aku masih anak magang, aku memperhatikan dinamika orang yang bekerja di kantor. Pegawai swasta. Dan rasanya itu bukan aku banget. Aku pun mulai mencari-cari pekerjaan yang lebih fleksibel dan aku senangi. Aku sempat bekerja di sebuah perusahaan kreatif selama satu tahun setelah aku lulus. Aku senang, tapi orang tua ku tidak. Jadi ujung-ujungnya aku keluar karena gak tahan dengan hubungan ku dan orang tua ku yang semakin buruk. Siapa sih yang tahan kalau setiap berangkat dan pulang kerja, yang kamu dengar adalah omelan orang tua mu? Aku pikir aku bisa tahan, tapi ternyata satu tahun aja cukup deh!
         Kalau kamu tanya aku, apa yang aku lakukan sekarang, aku bingung jawabnya. Jujur, saat ini aku seperti ada di lapangan kosong yang sangat luas, dan aku gak tau harus ke arah mana untuk ketemu jalur yang tepat. Setelah aku keluar dari perusahaan kreatif itu, aku sempat dapat tawaran freelance, di industri yang sama. Selama beberapa bulan aku cukup tenang karena ada yang ku kerjakan, dan ada uang yang masuk. Setelah pekerjaan itu selesai, aku jadi bingung lagi. Sebenarnya aku tergabung di satu Lembaga miliki seorang professor, yang dulunya adalah dosen pembimbing skripsi ku. aku bukan tipe orang yang bisa berhubungan dengan orang-orang berpendidikan tinggi seperti itu, karena rasanya otak ku gak sama kayak mereka. Tapi professor ini beda. Dia adalah salah satu orang, dari jumlah yang tidak banyak, yang percaya sama aku. Dia bahkan pernah memuji aku pintar di depan orang lain! Aku sampai bengong dan sempat mikir kalau mungkin dia lagi ngatain aku. Tapi ya memang gitu professor ku itu, dia percaya sama aku. Dia mengajakku masuk ke lembaganya, dan melibatkan aku di beberapa project. Sayang, situasi saat ini membuat pekerjaan kami harus terhenti. Corona. Kamu juga ngalamin kan? Padahal harusnya, aku sekarang sedang pergi ke kota-kota lain untuk mengerjakan project professor ku. Sekarang aku rasanya seperti pengangguran, yang masih tinggal di rumah orang tua ku. Rasanya benar-benar menyedihkan.

Belakangan ini aku merasa hidup ku menyedihkan. Bukannya aku gak bersyukur ya. Tapi ini seperti bukan hidup yang ku bayangkan waktu aku kecil. Aku seperti gagal mewujudkan cita-cita ku, tapi aku juga tidak tau apa sebenarnya cita-cita ku. Sejak kecil kita selalu diarahkan untuk memiliki pekerjaan sebagai cita-cita. Jadi dokter, polisi, pilot, pemadam kebakaran, atau yang lainnya. Gampang banget menyebutkan cita-cita waktu kita masih kecil, iya kan? Kalau aku, aku jadi semakin susah punya cita-cita setelah aku semakin dewasa. Semakin dewasa aku jadi tau kalau hal-hal yang terlihat mudah dan menyenangkan saat aku masih kecil, ternyata tidak semudah dan menyenangkan itu. Dulu aku pikir jatuh cinta dan punya pacar adalah hal yang menyenangkan. Tapi sekarang, aku melihat banyak masalah yang dialami oleh pasangan-pasangan, yang jadi bikin aku agak takut menikah. Padahal menikah itu salah satu tujuan hidup ku. Meskipun gak punya cita-cita, aku punya tujuan hidup tau. Aku mau financially independent, lalu menikah, punya dua anak, membesarkan anakku dengan penuh cinta, dan hidup bahagia selamanya dengan keluarga kecil ku. Terdengar klise dan membosankan mungkin buat kamu, tapi memang itu tujuan hidup ku. Aku sudah cukup menderita dengan keluarga ku saat ini, jadi aku mau nanti aku punya keluarga yang lebih baik kalau aku menikah. Tapi kenapa ya, tujuan hidup ku itu kayak masih sangat jauh dari aku yang sekarang. Aku yang bahkan bingung mau melakukan apa beberapa bulan ke depan. Ya ampun, perasaan waktu aku kecil hidup gak sepusing ini deh!

Comments

Popular posts from this blog

Day xx of Quarantine.

Aku sangat setuju kalau setiap hal itu punya dua sisi. Sisi negatif dan Positif. Yin dan Yang. Menurut aku hidup itu Yin dan Yang. Selalu ada sedikit hal positif dalam sesuatu, yang mungkin sangat-sangat negatif. Begitu juga sebaliknya, akan ada selalu titik negatif, dalam hal-hal yang sangat positif. Aku bisa kasih contoh, misalnya kasus kejahatan teroris, ini sangat ekstrim sih. Kalau kita mendengar tentang teroris pasti tanggapan mu langsung negatif. Bukan berarti aku membenarkan tindakan teroris ya, tapi aku bisa memaksakan untuk mencari sesuatu yang positif dalam terorisme, sesuatu yang sangat sangat negatif bagi hampir semua orang termasuk aku. Aku bilang hampir semua orang, karena pasti menurut teroris itu sendiri, ini bukan hal yang negatif kan? Menurut ku, orang yang melakukan tindakan terorisme adalah orang yang egois dan tidak punya hati, atau mungkin mereka tidak punya otak juga. Aku bisa bilang kalau terorisme bisa mengurangi jumlah penduduk yang membludak. Terorisme jug

Aku, Kamu, dan Orang-orang.

Kamu tau gak, kenapa aku suka mabuk? Tolong jangan bayangkan club-club dengan lampu-lampu disko dan pakaian seksi dulu. Aku mabuk di kamar, sendiri. Abang ku bingung waktu tau aku beli alkohol buat diminum sendiri di kamar, menurut dia aneh, tapi aku tetap suka. Kenapa? Mabuk itu seperti menyatukan pikiran mu, dan menemukan jalan keluar yang baik. Ah kamu bingung ya? Jadi, kalau aku sadar, aku hampir sebal dengan semua hal. Banyak hal yang ku proses dengan negatif tanpa mempertimbangkan sisi positif. Otak ku rasanya buntu, aku rasanya lelah dan marah. Kalau aku mabuk, sisi negatif otak ku seperti mau bekerja sama dengan sisi positifnya, menghasilkan pikiran-pikiran yang lebih baik, bahkan untuk bekerja. Aku pernah hampir membeli flask hip (kalau kamu gak tau ini apa, tolong googling), dan membawa alkohol kemana pun aku pergi, dan menegaknya waktu aku merasa terlalu nervous. Untungnya aku sadar itu akan membuat aku menjadi seorang alkoholik parah, meskipun mungkin sedikit berguna. Tapi

Cerita Tentang Aku dan Rumahku di Tengah Hutan.

Aku sedang merangkak, pelan-pelan, berusaha keluar dari tempat yang tadinya ku kira rumah. Aku salah, entah waktu itu aku buta atau kenapa. Rumah ini ada di tengah hutan. Aku tidak ingat kenapa aku bisa menemukan rumah ini. Rasanya waktu itu aku sedang melakukan perjalanan yang menyenangkan dan tiba-tiba menemukan rumah yang langsung membuatku jatuh cinta. Awalnya aku melihat tempat ini sebagai rumah yang nyaman, tempat aku bisa bersenang-senang dan beristirahat. Aku menjaga rumah ini baik-baik. Berusaha memperbaiki atapnya yang bocor, jendelanya yang retak, pagarnya yang rusak. Banyak hal-hal kecil yang sering rusak, tapi itu tidak terlalu menggangguku. Yang sedikit mengganggu adalah rumah ini selalu rusak. Aku pikir itu semua hanya kerusakan-kerusakan kecil yang bisa ku perbaiki. Ternyata aku salah. Kamu tau? ini bukan rumah yang nyaman. Tiba-tiba aku bisa melihat rumah ini secara keseluruhan, dan rumah ini bobrok, bekas ditinggal pemiliknya yang dulu. Bahkan barang-barang pemilik